Alur yang merambah pelan meniupkan aroma kekufuran untuk
mereka yang tak paham tetang apa yang mereka ketahui.
Perlahan namun pasti, tumbuh kader-kader bak jamur dimusim
hujan yang perlahan menyeruak namun tak kokoh, hanya semusim! Tidak mandiri!
Membuat hidup bergantung pada hidup orang lain.
Inikah yang diimpikan demokrasi? Inikah yang diimpikan
revolusi? Puaskah kita? Apakah ini sebuah karma? Makan diri sendiri! Hidup
menelan ludah!
Sedikit pemberontakan, karena setiap kata itu merdeka!
Masihkan kita mengingat warna bendera sendiri? Masihkah kita
mengenal ibu pertiwi sendiri?
Inikah yang dicita-citakan bangsa?
Hingga 100 tahu kemerdekaan, proses apakah yang telah kita
lalui?
Apak proses masih menjadi bagian yang kita hormati? Masihkah
kita mencintai perdamaian? Masihkah kita menghargai perbedaan?
Apaka kesibukan duniawi telah merenggut kita dari sikap
menghargai dan tolong menolong terhadap sesama?
Aku rindu negeriku!
Aku rindu negeri yang dulu, negeri yang walau terjajah tetap
mendaki kehidupan, negeri yang tetap menghargai perdamaian, negeri yang tetap
kuat dalam kelemahannya, negeri yang tetap merdeka dalam jajahannya! Mereka
yang rindu, aku pun rindu haruskah kurangkai kata yang lebih jauh lagi agar
kalian paham, bahwa aku adalah sosok yang merindukan kedamaian, bahwa aku adalah
sosok yang mencintai kearifan, bahwa aku mencintaimu wahai saudara-saudaraku.
Jangan ada kebencian diantara kita, hingga sekat yang menjadi membran diantara
kita telah kehilangan fungsinya, bersatu dalam kedamaian, bercengkrama dalam do’a,
bersatu dalam ikhtar, menjadi pembelajar sejati , tetap berjalan hingga
menemukan cahaya, hingga kita dapat menemukan cahaya untuk dapat dibagi kepada
yang lain. Berjalan untuk mencapai kesempurnaan. Kembalilah dari tiada ketiada!
0 komentar:
Posting Komentar