-->
Aku masih tak mampu membedakan
rasa yang ada ditubuh ini, entah sejak kapan orang-orang menganggapnya rasa itu
berasal dari hati? Aku tak tahu dimana asal rasa itu muncul, dia datang begitu
saja dan membuat candu. Mengapa orang-orang
menganggapnya berasal dari hati? Mengapa tidak berkata rasa itu berasal
dari otak? Dari tangan, dari kaki, dari kulit, dari mata, dari mulut? Mengapa tidak
mengatakan rasa itu berasal dari setiap elemen tubuhku, berasal dari reaksi
sel-sel terkecil seluruh tubuh yang merasakan kenyamanan dan kenikmatan sejati hingga
rasa itu muncul.
Aku juga belum bisa mempetak-petakkan
rasa itu secara rinci, mengapa ada rasa suka, cinta, sayang, benci, dendam,
cuek, mengapa harus dipetakkan? Rasa itu ada di semua ruang dan waktu dan untk
semua orang, ini budaya dari mana? Lingkungan, dan ajaran nenek moyang yang
turun temurun yang membuat kita latah. Kau lihat dan langsung kau terima? Tidakkah
kita mencoba berpikir?
Siapa yang mengajari kita
bertingkah seperti ini?
Entah sejak kapan tepatnya,
ketika sang anak telah tumbuh dan mengenal pribadi-pribadi mereka, lingkungan
mengajarkan mereka tentang bersikap dan bertingkah laku, menghakimi setiap
pribadi dengan lebel rasa yang berbeda-beda. Namun sampai saat ini, yang aku
pahami, setiap pribadi mempermainkan setiap lebel rasa yang mereka lekatkan
kepada setiap pribadi yang mereka jumpai. Mudah saja mengganti lebel mereka,
tanpa ada rasa bersalah dan rasa pembelajaran atas pengalaman pribadi
terdahulu.
Contoh sederhana pada abad
dilahirkanku, semenjak berdiri dengan kedua kaki sendiri, rasa cinta yang
paling sering ku dengar kabarnya. Orang-orang ramai membicarakannya. Tanpa mengenal
usia, cinta kadang menjadi racun dan kadang menjadi obat. Banyak pula yang
mabuk karenanya, hingga menyerahkan nyawa pun ada. Sering sekali aku menghela
napas panjang, merasa bingung dengan sesak dengan situasi yang nampak
sekarang. Ada sebuah permainan cinta
yang jika engkau masuk kedalamnya, maka kamu betul-betul harus menjalaniya
dengan baik, tidak boleh curang, mereka menyebutnya sebuah pernikahan. Namun ramai
gunjing, setelah pernikahan mengahasilkan keturunan yang mereka sebut buah hati
perbuatan mereka, mereka mulai jenuh dengan permainan mereka dan muncullah
berbagai macam masalah karena mulai merasa jenuh hingga ingin berbuat curang. Mereka
menyesali pasangan mereka, bukankah itu berarti mereka menyesali buah hati
mereka juga? Harusnya jangan mengeluh, karena ini sudah pilihan anda.
Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan
lagi, aku berharap seiring waktu berlalu, jejaknya dapat kutarik kesimpulan untuk
menjadi jawab atas segala tanya.
3 komentar:
Aku juga belum bisa mempetak-petakkan rasa itu secara rinci, mengapa ada rasa suka, cinta, sayang, benci, dendam, cuek, mengapa harus dipetakkan? Rasa itu ada di semua ruang dan waktu dan untk semua orang, ini budaya dari mana? Lingkungan, dan ajaran nenek moyang yang turun temurun yang membuat kita latah. Kau lihat dan langsung kau terima? Tidakkah kita mencoba berpikir?
Siapa yang mengajari kita bertingkah seperti ini?
Mempertanyakan apapun yang abstrak sama saja mencari hakekat kebenaran. Lantas bagaimana dengan agama? Menurut antum, itu abstrak bukan? Jika ya, kenapa sekalian tidak mempertanyakan agama yang antum anut? (See al-baqarah 133-134)
Menurutku, berbicara sesuatu yang abstrak, berarti berbicara tentang asal-usul keber'ada'aan-Nya :)
salahkah kita mencari kebenaran?? mempertanyakannya, agar lebih paham dan lebih dekat...
Posting Komentar